Identitas Buku
I. Judul
Buku : Ketika Mas Gagah Pergi dan
Kembali
II.
Penulis : Helvy Tiana
Rosa
III.
Ukuran
Buku : 14 cm x 20,5 cm
IV.
Penerbit
: Asma Nadia Publishing House
V.
Terbitan : Juli 2011
VI.
Tebal Buku :
259 Halaman
VII.
Jumlah Bab :
15 Bab
VIII.
Lokasi Terbit :
Depok, Jawa Barat
IX.
Harga
: Rp 38.250,00
X.
Penyunting :
Tomi Satryantomo
Resensi :
Gita adalah seorang remaja
yang manis, ia duduk di bangku SMA, dan Ia selalu bangga kepada Abangnya yang Ia
panggil Mas Gagah. Mas Gagah adalah sosok kakak yang sangat Gita idolakan,
sebut saja dari cara berpakaian, Mas Gagah sangatlah lihai dalam
memadupadankan segala pakaian yang ada
di dalam lemarinya, selain itu Mas Gagah
sangat ganteng dan modis dalam berpakaian. Sejak kecil Gita
sangatlah dekat dengan Mas Gagah. Tak
ada rahasia di antara mereka. Mas Gagah selalu mengajak Gita kemana Ia pergi.
Ia yang menolong saat Gita membutuhkan
pertolongan. Ia yang menghibur dan membujuk Gita di saat Gita bersedih dan
kesepian. Membawa oleh-oleh sepulang kuliah, dan mengajari Gita belajar
mengaji. Pendek kata, Mas Gagah selalu melakukan hal-hal yang baik,
menyenangkan dan berarti banyak untuk Gita. Saat memasuki usia dewasa, mereka
menjadi semakin dekat dan akrab, kalau ada sedikit saja waktu yang kosong, maka
mereka akan menghabiskan waktunya bersama-sama. Jala-jalan, nonton film, nonton
konser musik, atau sekedar bercengkrama dengan teman-teman Gita. Mas Gagah yang
humoris itu melontarkan lelucon yang membuat Gita dan teman-temanya tertawa
terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia selalu mengantar gita dan teman teman
gita sepulang latihan teater. Terkadang bahkan mereka mampir dulu untuk sekedar
makan ke Kemang, Seven Eleven atau ke
tempat yang lagi happening di kalangan
anak muda Jakarta. Tak ada yang tidak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga
atau tetangga, nenek-nenek, orangtua, dan adik kakak teman-teman Gita semuanya
menyukai sosok Mas Gagah. Sebenarnya Mas Gagah
tidak hanya sebatas itu saja. Banyak. Bahkan terlalu banyak hal yang
tidak bisa di deskripsikan dari Mas Gagah.
Namun suatu hari Mas Gagah
berubah! Di satu sisi Gita mengakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat pada
waktunya, berjamaah di masjid, omonganya tentang agama terus. Kalau Gita iseng
mengintip dari lubang kunci, Mas Gagah pasti sedang membaca buku-buku islam.
Dan kalau Gita mampir di kamarnya, Ia dengan senang hati menceritakan kembali
isi beberapa buku yang telah dibacanya, atau bahkan malah menceramahi Gita,
ujung-ujungnya Gita di paksa dan di suruhnya untuk memakai kerudung. Padahal
dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilan Gita yang tomboy. Mas Gagah juga tidak
keberatan kalau Gita meminjam kaos atau kemejanya. Dan bahkan Ia sendiri dulu
sering memanggil Gita dengan sebutan Gito. Eh sekarang malah manggil Gita
memakai Dik Manis segala! Dan Mama pun juga menegur Mas Gagah, kata Mama,
kenapa Mas Gagah berpakaian seperti ini? Tidak semodis dulu. Gita yang dari kemarin
sudah mengamati perubahan-perubahan yang terjadi pada Abangnya itu hanya
senyum-senyum saja. Dalam pengelihatan Gita, Mas Gagah terlihat lebih kuno,
dengan memakai kemeja, bahkan terkadang memakai baju koko dan celana bahan
hitam yang agak gombrang. Mas Gagah menjadi lebih pendiam. Itu juga yang Gita
rasakan, tidak seperti dulu lagi, sosok Mas Gagah yang suka bercada dan
melontarkan lawakan-lawakan nakal, sekarang berubah drastis menjadi sangat
pendiam. Sepertinya Mas Gagah juga enggan bercanda atau ngobrol dengan
teman-teman perempuan Gita. Dan yang paling parah, Mas Gagah emoh bersalaman
dengan perempuan. Apa sih maunya Mas Gagah ini ?
“Subhanallah, bearti kakak
kamu ikhwan dong” seru Tika setengah histeris mendengar cerita Gita. Temen
akrab Gita ini memang sudah sebulan berjilbab rapih. Dan telah memuseumkan
semua baju you can see-nya. Suatu
hari Gita berfikir apa yang menyebabkan Abangnya berubah drastis seperti itu.
Karena rasa penasaran Gita yang sangat teramat besar, kemudian Gita
mengumpulkan segenap keberanianya untuk menanyakan segala pertanyaan yang ada
di benaknya selama ini kepada Mas Gagah.
Hari demi hari pun berlalu.
Gita dan Mas Gagah menjadi dekat lagi meski aktifitas dan kegiatan yang meeka
lakukan berbeda dengan yang dahulu. Akhirnya Gita mengetahui hal apa yang
menyebabkan abangnya itu berubah, ya walaupun sebenarnya masih banyak yang
belum bisa Gita pahami, dan masih banyak yang beum bisa Gita menegerti dengan
keberadaan Mas Gagah yang sekarang. Tetapi sungguh Gita sangat tidak mau
kehilangan sosoknya. Gita selalu ingin berusaha untuk menjaga kedekatan
hubungan mereka itu. Berubah pula semua kehidupan Gita yang tadinya agak tomboy
dan cenderung selengeean, sekarang menjadi gadis cantik yang lemah lembut. Dan
bahkan, tampilan fisik Gita yang sekarang mengenakan kerudung. Semenjak dirinya
sering bergaul bersama Mas Gagah, gita telihat lebih percaya diri dan bertindak
dengan dasar-dasar islami, seperti ia tidak lagi bersentuhan dengan lelaki
ketika sedang bersalam-salaman, dan banyak sekali peubahan yang Gita lakukan.
Selepas shalat isya, Gita
sedang mengutak atik laptop kesayanganya, membuka situs-situs tentang bahaya
menggunakan narkoba, dan dampak nya bagi kesehatan tubuh manusia. “kemana yah
Mas Gagah, sudah malam kok tumben belom pulang?” pikirnya melayang, mungkin
sedang dalam perjalanan pulang. Detik demi detik berlalu, menit demi menit
berlalu, sampai tepat jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga. Tiba tiba telepon di rumah berdering mengagetkan,
papa yang ada di ruang tamu, langsung begegas mengangkat telepon yang berdering
itu. “apaaaaa??? Gagah kecelakaan?”
seketika itu mendengar teriakan papah yang sangat kencang dan kabar yang
tidak Gita duga membuat air mata Gita jatuh berlinangan membasahi pipi. Gita
dan mama menangis berangkulan, jilbab yang mereka gunakan basah akibat derian
air mata yang tiada hentinya mengalir. Mereka sekeluarga langsung bergegas ke
rumah sakit. Gita menatap tubuh abangnya yang terbujur kaku di balik sebilah
pintu kaca. Tangan dan kepala Mas Gagah terbalutkan perban. Tidak lama dokter Joko yang menangani Mas
Gagah menghampiri Gita dan keluarganya. Dan ternyata dokter Joko membawa kabar
yang sangat tidak mereka harapkan, bahwa
nyawa Mas Gagah tidak dapat tertolong lagi. “inna lilahi wa inna ilaihi raji’un”
Gita pandangi kamar Mas Gagah
yang kini lengah. Gita merindukan panggilan Dik Manis yang selalu di tuturkan
oleh Mas Gagah kepadanya. Rindu suara mas gagah yang selalu menasehatinya,
rindu akan canda tawa dan hingar-bingar yang dulu pernah ada. Namun sekarang hanyalah
gambar gambar kaligrafi di dinding kamar Mas Gagah yang menatap Gita. Setitik
air mata Gita jatuh lagi. Setetes, dua tetes, air mata gita kian menganak
sungai. Di matikanya lah lampu. Dan di tutupnya lah pintu kamar Mas Gagah
dengan pelan-pelan. Selamat jalan, Mas Ikhwan! Selamat jalan Mas Gagah…
Satu tahun kemudian, pagi itu
Gita seperti biasa berari lari mengejar bus kota jurusan Pulo Gadung-Depok
dengan seragam putih abu-abunya. Sejak kepergian Mas Gagah, Gita selalu tidak
mau di antar oleh papanya menggunakan mobil sedan itu. Mobil sedan yang selalu
di kendarai oleh Mas Gagah. Sesampainya di Bus, Gita mendapatkan tempat duduk
di paling depan. Seketika itu masuklah seorang pemuda berpakaian culun ala-ala
era tahun 80-an, memakai kemeja kotak-kotak dan celana panjang gombrang.
Ternyata dan tidak di sangka-sangka, dia adalah orang penceramah jalanan. Yang
Gita lihat darinya sosok yang kuat, dengan tegar ia menyampaikan firman-firman
Allah yang banyak tidak di ketahui oleh umatnya. tidak terasa Gita pun hampir
sampai di depan gerbang sekolanya. Seperti hari-hari biasanya Gita adalah
seorang siswi kelas 2 sekolah menengah atas. Pelajaran yang setiap hari di
perdengarkan oleh gurunya, sama sekali tidak masuk kedalam otak Gita. Yang ada
di pikiran Gita adalah hanya abangnya
seorang, sosok Mas Gagah yang selalu membayanginya kemanapun Gita pergi.
Setelah setahun kepergian Mas
Gagah, apa yang tejadi dengan Gita di kehidupanya? Lalu siapa lelaki berkemeja
kotak-kotak yang selalu Gita lihat di dalam bus, kereta api dan di berbagai
tempat itu? Dan mengapa lelaki itu mengingatkannya kepada Mas Gagah?