Hari ini adalah bulan ke-7 aku
mengenal dekat dirinya. Seseorang yang bagi ku adalah sebuah bahagia. Namun aku tidak terlalu
mengerti dan benar benar mengerti, apakah benar ini bahagia, atau hanya ilusi
semata. Ya memang ini hari menginjak bulan ke-7 terhitung sejak hari
ulangtahunnya. Dirinya yang ku kenal beberapa bulan ini memberikan banyak
cerita, kisah, dan untaian kasih kedalam hidup ku. Bagi ku, tidak mudah untuk
mengaku jatuh cinta. Namun tidak untuk dirinya.
Semejak cinta lama ku yang kandas di tengah jalan 2 tahun lalu. Hanya dia yang mampu membuat jantung ini berdetak kembali, hanya dia yang mampu membuat darah di dalam sanubari ku mengalir, laksana alam yang senantiasa memberikan segala kelimpahan nikmat dalam kehidupan. Aku yang hanya seorang diri dan berada didalam kesunyian di tengah keramaian, selalu membuka pintu selamat datang untuknya, untuk semua orang. Untuk membangkitkan ku yang sempat jatuh tersungkur di dalam lubang kenistaan lalu. Untuk membuat diriku mekar dan meronah serta memancarkan auraku yang dulu. Dan aku membutuhkan mentari untuk membantuku mengembangkan kelopak ku ini.
“Mungkin dia adalah matahari ku”
itulah pikir ku selama ini. Dan itulah yang
membuatku mampu bertahan sejauh ini untuk mengejarnya. Lelah? Tidak sama sekali,
karena aku mengetahui apa tujuan dan apa yang aku inginkan. Hanya dia.
Namun semua ini telah berjalan
lama. 7 bulan adalah bukan waktu yang tidak sebentar untuk saling mengenal. Dan
kami pun juga sering bertemu, kemanapun yang kami inginkan. Dia menjemputku di
depan pintu gerbang belakang kampus ku. Itu adaah saat pertama dimana aku
bertemu dan bertatapmuka dengannya. Dia adalah sosok yang dewasa bagiku. Di
lihat dari usianya aku yakin akan dirinya yang mampu menghidupkan kembali hidup
ku. Menjaga ku, dan menemani kesendirian ku. Berlari di tengah derasnya rintik hujan
Kota Jakarta dengan mengendarai kuda besinya,
dan di tengah cahaya kilat dan halilintar yang menggelegar, ia berkata
“peluk eratlah aku, berlindunglah
di pundakku sampai kamu merasa sedikit aman”
Masih teringat jelas di telingaku
kalimat itu terucap. Masih jelas suasana dan dimana kami berada saat itu.
Memang sesering kali kami berdua, entah mengapa hujan selalu datang menemani, entah itu hanya
rintik hujan yang tipis kian romantis, atau derasnya air hujan nan berderai bak
airmata ku ini.
Bercanda-tawa, menikmati detik
yang berlalu begitusaja dibalut tawa ku yang lepas saat dengan dirinya,
menjemput ku sepulang kuliah, dan seakan hanya ingin bertemu melihat senyumnya.
Melihat mata bulatnya yang di bingkai oleh frame hitam berkaca bening dari
sangat dekat. Memeluk erat dirinya seakan tak ingin ku lepaskan. Namun aku mash
di dalam kesadaran ku, bahwa ia bukan milik ku seutuhnya... menikmati jajanan
malam pinggir jalan Ibukota, seolah terpatri di dalam otak ku yang tidak mudah
untuk di hilangkan. Apa itu kenangan? Tentusaja bukan. Itu bukannlah kenangan,
karena kenangan itu adalah sesuatu yang telah berakir. Dan aku selalu berdoa keada tuhan agar apa
yang telah aku lalui dengannya tidak pernah berakir. Dan itu adalah doa yang selalu
aku ucap di dalam untaian doa yang selalu aku panjatkan di setiap shalat ku.
Aku mencintainya. Namun itu tidak untuknya. Aku tidak mengerti apa yang
sebenarnya dia mau dari semua ini, dan aku juga tidak tahu apa tujuannya
melakukan ini semua. Di tengah kebimbangan ku akan itu, dia selalu menggengam
erat tangan ini, seolah memberikan sejuta harapan untuk diri yang lemah ini.
Dan saat itulah aku merasa nyaman. Masa bodoh dengan segala masa depan. Yang ku
tahu kini adalah tetap seperti ini dan tidak pernah untuk menghilangkannya. Hingga waktu yang menjawabnya.
“aku tahu dia adalah sebuah
sakit,
dan aku seolah tidak ingin sembuh dari sakit yang menjerat ini”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.